بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Dalam
sebuah ayat al-Quran dikatakan, “Dan janganlah engkau turut apa-apa
yang engkau tidak ada ilmu padanya, sesungguhnya pendengaran,
penglihatan dan hati, semuanya akan ditanya,”
[ Surah Al-Isra:36 ]
Ayat
al-Quran tersebut menjelaskan bahwa ilmu merupakan dasar dari segala
tindakan manusia. Kerana tanpa ilmu segala tindakan manusia menjadi
tidak terarah, tidak benar dan tidak bertujuan.
Kata ilmu berasal
dari kata kerja ‘alima, yang bererti memperolehi hakikat ilmu,
mengetahui, dan yakin. Ilmu, yang dalam bentuk jamaknya adalah ‘ulum,
ertinya ialah memahami sesuatu dengan hakikatnya, dan itu bererti
keyakinan dan pengetahuan. Jadi ilmu merupakan aspek teori dari
pengetahuan. Dengan pengetahuan inilah manusia melakukan perbuatan
amalnya. Jika manusia mempunyai ilmu tapi miskin amalnya maka ilmu
tersebut menjadi sia-sia.
Manusia dilahirkan di bumi ini dalam
keadaan bodoh, tidak mengerti apa-apa. Lalu Allah mengajarkan kepadanya
berbagai macam nama dan pengetahuan agar ia bersyukur dan mengabdikan
dirinya kepada Allah dengan penuh kesedaran dan pengertian. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari
perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun dan Dia memberi
kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.”
[ Surah An-Nahl: 78 ]
Dalam beberapa riwayat di jelaskan tentang hubungan ilmu dan amal itu. Imam Ali as berkata :
“Ilmu adalah pemimpin amal, dan amal adalah pengikutnya.”
Demikian juga dengan perkataan Rasulullah saw :
“Barangsiapa beramal tanpa ilmu maka apa yang dirosaknya jauh lebih banyak dibandingkan yang diperbaikinya.”
Pada riwayat lain dijelaskan Imam Ali as berkata :
“Ilmu
diiringi dengan perbuatan. Barangsiapa berilmu maka dia harus berbuat.
Ilmu memanggil perbuatan. Jika dia menjawabnya maka ilmu tetap
bersamanya, namun jika tidak maka ilmu pergi darinya.”
Dari
riwayat di atas maka jika orang itu berilmu maka ia harus diiringi
dengan amal. Amal ini akan mempunyai nilai jika dilandasi dengan ilmu,
begitu juga dengan ilmu akan mempunyai nilai atau makna jika diiringi
dengan amal. Keduanya tidak dapat dipisahkan dalam perilaku manusia.
Sebuah perpaduan yang harmonis saling melengkapi dalam kehidupan
manusia, iaitu setelah berilmu lalu beramal.
Pengertian amal
dalam pandangan Islam adalah setiap amal soleh, atau setiap perbuatan
kebajikan yang diredhai oleh Allah SWT. Dengan demikian, amal dalam
Islam tidak hanya terbatas pada ibadah, sebagaimana ilmu dalam Islam
tidak hanya terbatas pada ilmu fikih dan hukum-hukum agama. Ilmu dalam
dalam ini mencakup semua yang bermanfaat bagi manusia seperti meliputi
ilmu agama, ilmu alam, ilmu sosial dan lain-lain. Ilmu-ilmu ini jika
dikembangkan dengan benar dan baik maka memberikan dampak yang positif
bagi peradaban manusia. Misalnya pengembangan ilmu sains dan teknologi
akan memberikan kemudahan dalam lapangan praktik kehidupan manusia.
Demikian juga pengembangan ilmu-ilmu sosial akan memberikan solusi
jawapan untuk pemecahan masalah-masalah yang rumit di lingkungan
masyarakat secara umumnya.
Jadi mengiringi ilmu dengan amal
merupakan keharusan. Dalam pandangan Khalil al-Musawi dalam buku
Bagaimana Menjadi Orang Bijaksana, hubungan ilmu dengan amal dapat
difokuskan pada dua hal:
Pertama, ilmu adalah pemimpin dan
pembimbing amal perbuatan. Amal dapat lurus dan berkembang bila didasari
ilmu. Berbuat tanpa didasari pengetahuan tidak ubahnya dengan berjalan
bukan di jalan yang benar, tidak mendekatkan kepada tujuan melainkan
menjauhkan perjalanan. Dalam semua aspek kegiatan manusia harus disertai
dengan ilmu, baik itu yang berupa amal ibadah mahupun amal perbuatan
lainnya.
Dalam ibadah harus disertai dengan ilmu. Jika ada orang
yang melakukan ibadah tanpa didasari ilmu tidak ubahnya dengan orang
yang mendirikan bangunan di tengah malam dan kemudian menghancurkannya
di siang hari. Begitu juga, hal ini pun berlaku pada amal perbuatan yang
lain, dalam berbagai bidang. Memimpin sebuah negara, misalnya, harus
dengan ilmu. Negara yang dipimpin oleh orang bodoh akan dilanda
kekacauan dan kehancuran.
Kedua, sesungguhnya ilmu dan amal
saling beriringan. Barangsiapa berilmu maka dia harus berbuat dengan
amal, baik itu ilmu yang berhubungan dengan masalah ibadah maupun
ilmu-ilmu yang lain. Tidak ada faedahnya jika ilmu itu tidak diamalkan.
Amal merupakan buah dari ilmu, jika ada orang yang mempunyai ilmu tapi
tidak beramal maka seperti pohon yang tidak menghasilkan manfaat bagi
penanamnya.
Begitu pula, tidak ada manfaatnya ilmu fikih yang
dimiliki seorang fakih jika dia tidak mengubahnya menjadi perbuatan.
Begitu juga, tidak ada faedahnya teori-teori atau penemuan-penemuan yang
ditemukan seorang ilmuwan jika tidak diubah menjadi perbuatan nyata.
Kerana wujud dari pengetahuan itu adalah amal dan karya nyatanya.
Ilmu
tanpa diiringi dengan amal maka hanya berupa konsep-konsep [teori]
sahaja. Ilmu yang tidak dilanjutkan dengan perbuatan, mungkin kita dapat
menyebutnya sebagai pengetahuan teoritis. Namun, apa faedahnya ilmu
teoritis jika kita tidak menerjemahkannya ke dalam ilmu praktikal, dan
kemudian meneruskannya menjadi perbuatan yang mendatangkan hasil ?
Jika
ilmu tidak diimplementasikan maka akan memberikan impak yang negatif.
Salah-satu penyakit sosial yang paling berbahaya yang melanda berbagai
umat – termasuk umat Islam – adalah penyakit pemutusan ilmu-khususnya
ilmu-ilmu agama –dari amal perbuatan, dan berubahnya ilmu menjadi
sekumpulan teori belaka yang jauh dari kenyataan dan penerapan. Padahal,
kaedah Islam menekankan bahwa ilmu senantiasa menyeru kepada amal
perbuatan. Keduanya tidak ubahnya sebagai dua benda yang senantiasa
bersama dan tidak terpisah satu sama lain. Jika amal memenuhi seruan
ilmu maka umat menjadi baik dan berkembang. Namun jika tidak, maka ilmu
akan meninggalkan amal perbuatan, dan dia akan tetap tinggal tanpa
memberikan faedah apa pun. Jika demikian nilai apa yang dimiliki seorang
manusia yang mempunyai segudang teori dan pengetahuan namun tidak
mempraktikkannya dalam dunia nyata.
Pertalian ilmu dengan amal
tidak hanya dituntut dari para pelajar agama dan para ahli yang
mendalami suatu ilmu, melainkan juga dituntut dari setiap orang, baik
yang memiliki ilmu sedikit ataupun banyak. Namun, tentunya orang-orang
yang berilmu memiliki tanggung jawab yang lebih besar dalam hal ini,
kerana mereka memiliki kemampuan yang lebih.
Allah SWT berfirman di dalam surat Ash-Shaff, ayat (2-3) :
“Wahai
orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa-apa yang tidak
kamu kerjakan. Sungguh besar murka Allah kamu mengatakan apa-apa yang
tidak kamu kerjakan.”
Jika kita memperhatikan ayat-ayat al-Quran,
niscaya kita akan menemukan bahwa al-Quran senantiasa menggandengkan
ilmu dengan amal. Makna ilmu diungkapkan dalam bentuk kata iman pada
banyak tempat, dengan pengertian bahawa iman adalah ilmu atau keyakinan.
Di antaranya ialah :
“
Demi Masa, sesungguhnya manusia berada dalam kerugian. Kecuali
orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan saling menasihati dalam
kebenaran dan kebajikan.”
[ Surah. Al-‘Ashr: 1-3 ].
Dalam ayat lain dikatakan :
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal soleh, bagi mereka adalah syurga Firdaus menjadi tempat tinggal.”
[ Surah Al-Kahf : 107 ].
Demikian juga dengan ayat:
“Orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka kebahagian dan tempat kembali yang baik.”
[ Surah Ar-Ra’d : 29 ]
Ayat-ayat
tersebut menjelaskan tentang betapa ilmu dan amal soleh memiliki kaitan
yang erat yang tidak dapat dilepaskan satu sama lain. Kerana keduanya
umpama dua keping mata wang, yang saling memberi erti. Inilah yang
sejalan dengan ucapan Imam Ali a.s:
“Iman dan amal adalah dua
saudara yang senantiasa beriringan dan dua sahabat yang tidak berpisah.
Allah tidak akan menerima salah satu dari keduanya kecuali disertai
sahabatnya.”
Dengan perspektif keterpaduan ilmu dan amal, maka
akan memberikan perkembangan kearah perbaikan dalam kehidupan
masyarakat. Masyarakat akan berlumba-lumba dalam memberikan amal yang
soleh diantara satu sama lain.
Imam Ali as berkata : “Jangan
sampai ilmumu menjadi kebodohan dan keyakinanmu menjadi keraguan. Jika
engkau berilmu maka beramal lah, dan jika engkau yakin maka majulah.”
Dengan ilmu yang benar, serta amal soleh maka masyarakat bergerak dari
kebodohan menuju kepintaran, dari ketertinggalan menuju kemajuan dan
dari kehancuran menuju kebangkitan.
Tanthawi dalam tafsir
al-Jauhari menjelaskan: “Sesungguhnya yang takut kepada Allah, adalah
para ulama yang tahu terhadap apa-apa yang layak (patut) bagi dzat Allah
dan sifat-sifat Nya berupa pensucian, ketaatan dan keikhlasan dalam
beribadah. Adapun orang-orang yang bodoh terhadap dzat Allah dan
sifat-sifat Nya mereka tidak takut kepada Nya dan tidak takut terhadap
siksaan Nya kerana mereka telah dikuasai syaitan”.
Sedangkan Zaid bin Jubair menyebut “rasa takut adalah sesuatu yang menjadi penghalang kamu dari mendurhakai Allah”.
Rasa
takut (khasyyah) itu akan muncul jika seorang alim itu memiliki iman
yang kuat. Kerana itu, dalam surah al-Mujadilah (58) : 11 ditegaskan
bahwa Allah mengangkat derajat orang yang beriman dan berilmu.
Jadi
syarat seorang alim yang diangkat derajatnya harus beriman. Di sisi
lain, hubungan antara ilmu dan iman saling berkaitan. Semakin tinggi
ilmu seseorang semakin mantap imannya. Sebaliknya, semakin kuat iman
seseorang semakin gemar mengkaji ilmu pengetahuan.
Seorang
ilmuwan (Alim) dalam pengertian di atas, mesti memanfaatkan ilmunya
untuk kebaikan diri dan lingkungannya. Orang berilmu tidak boleh merosak
alam dengan perilaku-perilaku yang rakus dan serakah mengeksploitasi
alam. Seorang alim juga tidak boleh melakukan kemaksiatan atau
memfasilitasinya kerana tindakan itu bertolak belakang dengan sikap
“takut” pada-Nya sehingga mengundang azab/kutukan Tuhan.
Allahua'lam ...