"Segala Puji bagi Allah yang telah mempertemukan kita lewat blog ini, Semoga Shalawat serta Salam selalu tercurah kepada Qudwah kita Nabi Allah Muhammad SAW.,beserta para keluarga, sahabat, dan para pengikutnya hingga akhir zaman"

Senin, 21 Oktober 2013

SEGALA PUJI HANYA MILIK MU YA ALLAH

Tiada asa yang tertuang ,,,,.
Tiada rasa yang tercurah ,,,,
terdiam diri pada kenyataan ,,,
terpaku hidup pada keadaan ,,,

Ingin berteriak namun tak bersuara ,,,
ingin berontak namun tiada daya ,,,,
sesak seakan menghimpit dada ,,,,
perih seakan merobek hati ,,,,

sedih ,,, perih ,,, luka ,,, semakin lekat bersemayam di hati
air mata ,,, renungan ,,, ratapan ,,,  seolah tiada mengobati

karena kasih sayang MU ya ROBBI
diri sanggup bertahan dengan semua ini ,,,
cinta dari MU menjadi pengobat hati ,,,,

SEGALA PUJI HANYA MILIK MU YA ALLAH

KEKELIRUAN CINTA


Mengapa kita bisa begitu mudah mencintai seseorang, bahkan hanya dikarenakan senyumnya saja?, sedangkan untuk mencintai Allah, kita begitu kesulitan, padahal Dia telah memberikan sejuta senyumNya untuk kita.

Mengapa kita bisa begitu mudah mengorbankan segalanya untuk orang yang dicinta, bahkan harus mati sekali pun?, sedangkan berkorban sedikit saja untuk meraih kecintaan Allah, kita begitu malas. Seberapa seringkah kita berkorban melangkahkan kaki menuju masjid untuk menyambut seruanNya melalui perantara seorang muadzin?!

Mengapa kita bisa begitu mudah mengumbar perasaan dihalayak ramai, bahkan kita begitu bangga melakukannya?, sedangkan untuk mengungkap secuil kata cinta kepada Allah, kita merasa malu. Bahkan untuk menyebut namaNya saja di halayak ramai, kita merasa malu dan enggan.

Mengapa kita bisa begitu mudah meminta maaf kepada orang yang dicinta, bahkan kita melakukannya dengan memohon-mohon, padahal sebenarnya kita tidak bersalah?, sedangkan kepada Allah, yang jelas-jelas kita banyak salah dan dosa, kita malah enggan untuk memohon maaf atau memohon ampun kepadaNya.

Mengapa kita bisa begitu mudah mengulang-ulang membaca sms atau surat dari orang yang dicinta, bahkan sampai tidak bergeming ketika dipanggil oleh orang lain, saking khusyunya kita?, sedangkan untuk membaca Al Qur’an yang mana jelas-jelas itu adalah kalam Allah yang tersurat dan tersirat, kita malah mengabaikannya. Menyentuhnya saja entah, apalagi membacanya berulang-ulang.

Mengapa kita bisa begitu mudah hawatir dan gelisah ketika hendak diputus atau ditinggal oleh orang yang dicinta, bahkan tidak jarang membuat kita depresi?, sedangkan kita tidak pernah perduli dan tidak pernah mau tahu apakah Allah memutuskan kita atau meninggalkan kita.

Sungguh banyak kekeliruan yang terjadi diantara kita, para remaja.
Itu semua lantaran kita yang kurang mengenal Tuhan kita sendiri, Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Padahal perhatikanlah bagaimana Allah mensifati kita sebagai orang yang beriman,

“..Dan orang-orang beriman, kecintaan mereka sangat besar kepada Allah..” (Al Baqoroh : 165)

Allah mengatakan bahwa orang yang beriman itu cintanya teramat sangat kepada Allah. Dan tidakkah juga kita ingin termasuk kedalam kaum yang disifati oleh Allah,

“..Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang mana Allah mencintai mereka dan mereka mencintai Allah..” (Al Maidah : 53)

Laa haula wa laa quwwata illaa billaah!
Sungguh jikalau seseorang telah merasakan kecintaan kepada Allah, maka dunia beserta isinya tiada lagi berguna. Sebab baginya menghabiskan waktu semenit dengan Allah itu lebih baik dan lebih nikmat, ketimbang ribuan tahun menikmati kecantikan dunia beserta isinya. Apalagi hanya seorang wanita.

Jika hanya mencintai wanitanya saja, maka itu hal biasa. Tapi jika sampai mendalam mencintai Yang Menciptakannya, maka itulah hal yang luar biasa. Coba saja deh!

Pesan untuk para wanita,
jika ada lelaki yang menyanjung-nyanjungmu dan lebih mengutamakanmu, maka jauhi saja.
sesungguhnya anda tidak layak diberlakukan seperti itu, justru Tuhan anda-lah, yaitu Allah yang lebih berhak untuk dia sanjung dan lebih dia utamakan.
seharusnya dia dan juga anda malu kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala.
maka bertakwalah agar beruntung dan tidak buntung!

Allaahul muwaffiq.

Sabtu, 12 Oktober 2013

ADAB BERBICARA

Bismiillah
==================================
Adab Berbicara
 

Ajaran Islam amat sangat serius memperhatikan soal menjaga lisan sehingga Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda: "Barangsiapa yang memberi jaminan kepadaku (untuk menjaga) apa yang ada antara dua janggutnya (lisan) dan apa yang ada antara dua kakinya (kemaluannya) maka aku menjamin Surga untuknya." (HR. Al-Bukhari).
 

Menjaga Lisan
Seorang muslim wajib menjaga lisannya, tidak boleh berbicara batil, dusta, menggunjing, mengadu domba dan melontarkan ucapan- ucapan kotor, ringkasnya, dari apa yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya. Sebab kata- kata yang merupakan produk lisan memiliki dampak yang luar biasa.
 

Perang, pertikaian antarnegara atau perseorangan sering terjadi karena perkataan dan provokasi kata. Sebaliknya, ilmu pengetahuan lahir, tumbuh dan berkembang melalui kata- kata. Perdamaian bahkan persaudaraan bisa terjalin melalui kata-kata. Ironinya, banyak orang yang tidak menyadari dampak luar biasa dari kata-kata. Padahal Nabi Shallallaahu alaihi wa
Salam bersabda: "Sungguh seorang hamba berbicara dengan suatu kalimat yang membawa keridhaan Allah, dan dia tidak menyadarinya, tetapi Allah mengangkat dengannya beberapa derajat. Dan sungguh seorang hamba berbicara dengan suatu kalimat yang membawa kemurkaan Allah, dan
dia tidak mempedulikannya, tetapi ia menjerumuskan-nya ke Neraka Jahannam" (HR. Bukhari)
 

Hadist Hasan riwayat Imam Ahmad menyebutkan, bahwa semua anggota badan tunduk kepada
lisan. Jika lisannya lurus maka anggota badan semuanya lurus, demikian pun sebaliknya. Ath-
Thayyibi berkata, lisan adalah penerjemah hati dan penggantinya secara lahiriyah. Karena itu,
hadits Imam Ahmad di atas tidak bertentangan dengan sabda Nabi yang lain: "Ketahuilah,
sesungguhnya di dalam jasad terdapat segumpal darah, jika ia baik maka baiklah seluruh jasad,
dan bila rusak, maka rusaklah seluruh jasad. Ketahuilah, ia adalah hati." (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
 

Berkata Baik Atau Diam
Adab Nabawi dalam berbicara adalah berhati-hati dan memikirkan terlebih dahulu sebelum berkata-kata. Setelah direnungkan bahwa kata-kata itu baik, maka hendaknya ia mengatakannya. Sebaliknya, bila kata-kata yang ingin diucapkannya jelek, maka hendaknya ia menahan diri dan lebih baik diam. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda: "Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka hendaknya ia berkata yang baik atau diam." (HR. Al-Bukhari).
Adab Nabawi di atas tidak lepas dari prinsip kehidupan seorang muslim yang harus produktif
menangguk pahala dan kebaikan sepanjang hidupnya. Menjadikan semua gerak diamnya sebagai ibadah dan sedekah. Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda: "… Dan kalimat yang baik adalah sedekah. Dan setiap langkah yang ia langkahkan untuk shalat (berjamaah di masjid)adalah sedekah, dan menyingkirkan duri dari jalan adalah sedekah." (HR. Al-Bukhari).
 

Sedikit Bicara Lebih Utama
Orang yang senang berbicara lama-lama akan sulit mengendalikan diri dari kesalahan. Kata-kata yang me-luncur bak air mengalir akan mengha-nyutkan apa saja yang diterjangnya, dengan tak terasa akan meluncurkan kata-kata yang baik dan yang buruk. Ka-rena itu Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam melarang kita banyak bicara. Beliau Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda artinya, …"Dan (Allah) membenci kalian untuk qiila waqaala." (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Imam Nawawi rahimahullah berkata, qiila wa qaala adalah asyik membicarakan berbagai berita tentang seluk beluk seseorang (ngerumpi). Bahkan dalam hadits hasan gharib riwayat Tirmidzi disebutkan, orang yang banyak bicara diancam oleh Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam sebagai orang yang paling beliau murkai dan paling jauh tempatnya dari Rasulullah pada hari Kiamat. Abu Hurairah Radhiallaahu anhu berkata, 'Tidak ada baiknya orang yang banyak bicara.' Umar bin Khathab Radhiallaahu anhu berkata, 'Barangsiapa yang banyak bicaranya,
akan banyak kesalahannya.'
 

Dilarang Membicarakan Setiap Yang Didengar
Dunia kata di tengah umat manusia adalah dunia yang campur aduk. Seperti manusianya sendiri
yang beragam dan campur aduk; shalih, fasik, munafik, musyrik dan kafir. Karena itu, kata-kata
umat manusia tentu ada yang benar, yang dusta; ada yang baik dan ada yang buruk. Karena itu,
ada kaidah dalam Islam soal kata-kata, 'Siapa yang membicarakan setiap apa yang didengarnya, berarti ia adalah pembicara yang dusta'. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam : "Cukuplah seseorang itu berdosa, jika ia membicarakan setiap apa yang di-dengarnya."
Dalam riwayat lain disebutkan: "Cukuplah seseorang itu telah berdusta, jika ia membicarakan setiap apa yang didengarnya." (HR. Muslim).
 

Jangan Mengutuk dan Berbicara Kotor
Mengutuk dan sumpah serapah dalam kehidupan modern yang serba materialistis sekarang ini
seperti menjadi hal yang dianggap biasa. Seorang yang sempurna akhlaknya adalah orang yang paling jauh dari kata-kata kotor, kutukan, sumpah serapah dan kata-kata keji lainnya. Ibnu Mas'ud Radhiallaahu anhu meriwayatkan, Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda: "Seorang mukmin itu bukanlah seorang yang tha'an, pelaknat, (juga bukan) yang berkata keji dan kotor." (HR. Bukhari).
Tha'an adalah orang yang suka-merendahkan kehormatan manusia, dengan mencaci, menggunjing dan sebagainya.
 

Melaknat atau mengutuk adalah do’a agar seseorang dijauhkan dari rahmat Allah. Imam Nawawi rahima-hullah berkata, 'Mendo’akan agar seseorang dijauhkan dari rahmat Allah bukanlah akhlak orang-orang beriman. Sebab Allah menyifati mereka dengan rahmat (kasih sayang) di antara mereka dan saling tolong- menolong dalam kebaikan dan takwa. Mereka dijadikan Allah sebagai orang-orang yang seperti bangunan, satu sama lain saling menguatkan, juga diumpamakan sebagaimana satu tubuh.
Seorang mukmin adalah orang yang mencintai saudara mukminnya yang lain sebagai-mana ia mencintai dirinya sendiri. Maka, jika ada orang yang mendo’akan saudara muslimnya dengan laknat (dijauhkan dari rahmat Allah), itu berarti pemutusan hubungan secara total. Padahal laknat adalah puncak doa seorang mukmin terhadap orang kafir. Karena itu disebutkan dalam hadits shahih:
"Melaknat seorang mukmin adalah sama dengan membunuhnya." (HR. Bukhari). Sebab seorang
pembunuh memutus-kan orang yang dibunuhnya dari berbagai manfaat duniawi. Sedangkan orang
yang melaknat memutuskan orang yang dilaknatnya dari rahmat Allah dan kenikmatan akhirat."
 

Jangan Senang Berdebat Meski Benar
Saat ini, di alam yang katanya demokrasi, perdebatan menjadi hal yang lumrah bahkan malah digalakkan. Ada debat calon presiden, debat calon gubernur dan seterusnya. Pada kasus-kasus tertentu, menjelaskan argumen-tasi untuk menerangkan kebenaran yang berdasarkan ilmu dan keyakinan memang diperlukan dan berguna. Tetapi, berdebat yang didasari ketidak-tahuan, ramalan, masalah ghaib atau dalam hal yang tidak berguna seperti tentang jumlah Ashhabul Kahfi atau yang sejenisnya maka hal itu hanya membuang-buang waktu dan berpe-ngaruh pada retaknya persaudaraan. (Lihat Tafsir Sa'di, 5/24, surat Kahfi: 22) Maka, jangan sampai seorang mukmin hobi
berdebat. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda: "Saya adalah penjamin di rumah yang ada di sekeliling Surga bagi orang yang meninggalkan perdebatan, meski dia benar. Dan di tengah-
tengah Surga bagi orang yang meninggalkan dusta, meskipun dia bergurau. Juga di Surga yang tertinggi bagi orang yang baik akhlaknya." (HR. Abu Daud, dihasankan oleh Al-Albani).
 

Dilarang Berdusta Untuk Membuat Orang Tertawa
Dunia hiburan (entertainment) menjadi dunia yang digandrungi oleh sebagian besar umat manusia.
Salah satu jenis hiburan yang digandrungi orang untuk menghilangkan stress dan beban hidup
yang berat adalah lawak. Dengan suguhan lawak ini orang menjadi tertawa terbahak-bahak,
padahal di dalamnya campur baur antara kebenaran dan kedustaan, seperti memaksa diri dengan mengarang cerita bohong agar orang tertawa. Mereka inilah yang mendapat ancaman melalui lisan Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam dengan sabda beliau: "Celakalah orang yang berbicara lalu berdusta untuk membuat orang-orang tertawa. Celakalah dia, dan celakalah dia!" (HR. Abu Daud,
dihasankan oleh Al-Albani).
 

Merendahkan Suara Ketika Berbicara Meninggikan suaranya, berteriak dan membentak. 
Dalam pergaulan sosial, tentu orang yang semacam ini sangat dibenci. Bila sebagai pemimpin, maka dia adalah pemimpin yang ditakuti oleh bawahannya. Bukan karena kewibawaan dan keteladanannya, tapi karena suaranya yang menakutkan. Bila sebagai bawahan, maka dia adalah orang yang tak tahu
diri. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menegaskan, 'Orang yang meninggikan suaranya terhadap
orang lain, maka tentu semua orang yang berakal menge-tahui, bahwa orang tersebut bukanlah
orang yang terhormat.' Ibnu Zaid berkata, 'Seandainya mengeraskan suara (dalam berbicara), adalah hal yang baik, tentu Allah tidak menjadikannya sebagai suara keledai.' Abdurrahman As-Sa'di berkata, 'Tidak diragukan lagi, bahwa (orang yang) meninggikan suara kepada orang lain adalah orang yang tidak beradab dan tidak menghormati orang lain.' Karena itulah termasuk adab berbicara dalam Islam adalah merendahkan suara ketika berbicara. Allah berfirman, artinya: "Dan rendahkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah suara keledai." (QS.Luqman: 19).

Jumat, 04 Oktober 2013

ALAM | ILMU | AMAL | ALIM



بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

Dalam sebuah ayat al-Quran dikatakan, “Dan janganlah engkau turut apa-apa yang engkau tidak ada ilmu padanya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya akan ditanya,”

[ Surah Al-Isra:36 ]

Ayat al-Quran tersebut menjelaskan bahwa ilmu merupakan dasar dari segala tindakan manusia. Kerana tanpa ilmu segala tindakan manusia menjadi tidak terarah, tidak benar dan tidak bertujuan.

Kata ilmu berasal dari kata kerja ‘alima, yang bererti memperolehi hakikat ilmu, mengetahui, dan yakin. Ilmu, yang dalam bentuk jamaknya adalah ‘ulum, ertinya ialah memahami sesuatu dengan hakikatnya, dan itu bererti keyakinan dan pengetahuan. Jadi ilmu merupakan aspek teori dari pengetahuan. Dengan pengetahuan inilah manusia melakukan perbuatan amalnya. Jika manusia mempunyai ilmu tapi miskin amalnya maka ilmu tersebut menjadi sia-sia.

Manusia dilahirkan di bumi ini dalam keadaan bodoh, tidak mengerti apa-apa. Lalu Allah mengajarkan kepadanya berbagai macam nama dan pengetahuan agar ia bersyukur dan mengabdikan dirinya kepada Allah dengan penuh kesedaran dan pengertian. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.”

[ Surah An-Nahl: 78 ]

Dalam beberapa riwayat  di jelaskan tentang hubungan ilmu dan amal itu. Imam Ali as berkata :

“Ilmu adalah pemimpin amal, dan amal adalah pengikutnya.”

Demikian juga dengan perkataan Rasulullah saw :

“Barangsiapa beramal tanpa ilmu maka apa yang dirosaknya jauh lebih banyak dibandingkan yang diperbaikinya.”

Pada riwayat lain dijelaskan Imam Ali as berkata :

“Ilmu diiringi dengan perbuatan. Barangsiapa berilmu maka dia harus berbuat. Ilmu memanggil perbuatan. Jika dia menjawabnya maka ilmu tetap bersamanya, namun jika tidak maka ilmu pergi darinya.”

Dari riwayat di atas maka jika orang itu berilmu maka ia harus diiringi dengan amal. Amal ini akan mempunyai nilai jika dilandasi dengan ilmu, begitu juga dengan ilmu akan mempunyai nilai atau makna jika diiringi dengan amal. Keduanya tidak dapat dipisahkan dalam perilaku manusia. Sebuah perpaduan yang harmonis saling melengkapi dalam kehidupan manusia, iaitu setelah berilmu lalu beramal.

Pengertian amal dalam pandangan Islam adalah setiap amal soleh, atau setiap perbuatan kebajikan yang diredhai oleh Allah SWT. Dengan demikian, amal dalam Islam tidak hanya terbatas pada ibadah, sebagaimana ilmu dalam Islam tidak hanya terbatas pada ilmu fikih dan hukum-hukum agama. Ilmu dalam dalam ini mencakup semua yang bermanfaat bagi manusia seperti meliputi ilmu agama, ilmu alam, ilmu sosial dan lain-lain. Ilmu-ilmu ini jika dikembangkan dengan benar dan baik maka memberikan dampak yang positif bagi peradaban manusia. Misalnya pengembangan ilmu sains dan teknologi akan memberikan kemudahan dalam lapangan praktik kehidupan manusia. Demikian juga pengembangan ilmu-ilmu sosial akan memberikan solusi  jawapan untuk pemecahan masalah-masalah yang rumit di lingkungan masyarakat secara umumnya.

Jadi mengiringi ilmu dengan amal merupakan keharusan. Dalam pandangan Khalil al-Musawi dalam buku Bagaimana Menjadi Orang Bijaksana, hubungan ilmu dengan amal dapat difokuskan pada dua hal:

Pertama, ilmu adalah pemimpin dan pembimbing amal perbuatan. Amal dapat lurus dan berkembang bila didasari ilmu. Berbuat tanpa didasari pengetahuan tidak ubahnya dengan berjalan bukan di jalan yang benar, tidak mendekatkan kepada tujuan melainkan menjauhkan perjalanan. Dalam semua aspek kegiatan manusia harus disertai dengan ilmu, baik itu yang berupa  amal ibadah mahupun amal perbuatan lainnya.

Dalam ibadah harus disertai dengan ilmu. Jika ada orang yang melakukan ibadah tanpa didasari ilmu tidak ubahnya dengan orang yang mendirikan bangunan di tengah malam dan kemudian menghancurkannya di siang hari. Begitu juga, hal ini pun berlaku pada amal perbuatan yang lain, dalam berbagai bidang. Memimpin sebuah negara, misalnya, harus dengan ilmu. Negara yang dipimpin oleh orang bodoh akan dilanda kekacauan dan kehancuran.

Kedua, sesungguhnya ilmu dan amal saling beriringan. Barangsiapa berilmu maka dia harus berbuat dengan amal, baik itu ilmu yang berhubungan dengan masalah ibadah maupun ilmu-ilmu yang lain. Tidak ada faedahnya jika ilmu itu tidak diamalkan. Amal merupakan buah dari ilmu, jika ada orang yang mempunyai ilmu tapi tidak beramal maka seperti pohon yang tidak menghasilkan manfaat bagi penanamnya.

Begitu pula, tidak ada manfaatnya ilmu fikih yang dimiliki seorang fakih jika dia tidak mengubahnya menjadi perbuatan. Begitu juga, tidak ada faedahnya teori-teori atau penemuan-penemuan yang ditemukan seorang ilmuwan jika tidak diubah menjadi perbuatan nyata. Kerana wujud dari pengetahuan itu adalah amal dan karya nyatanya.

Ilmu tanpa diiringi dengan amal maka hanya berupa konsep-konsep [teori] sahaja. Ilmu yang tidak dilanjutkan dengan perbuatan, mungkin kita dapat menyebutnya sebagai pengetahuan teoritis. Namun, apa faedahnya ilmu teoritis jika kita tidak menerjemahkannya ke dalam ilmu praktikal, dan kemudian meneruskannya menjadi perbuatan yang mendatangkan hasil ?

Jika ilmu tidak diimplementasikan maka akan memberikan impak yang negatif. Salah-satu penyakit sosial yang paling berbahaya yang melanda berbagai umat – termasuk umat Islam – adalah penyakit pemutusan ilmu-khususnya ilmu-ilmu agama –dari amal perbuatan, dan berubahnya ilmu menjadi sekumpulan teori belaka yang jauh dari kenyataan dan penerapan. Padahal, kaedah Islam menekankan bahwa ilmu senantiasa menyeru kepada amal perbuatan. Keduanya tidak ubahnya sebagai dua benda yang senantiasa bersama dan tidak terpisah satu sama lain. Jika amal memenuhi seruan ilmu maka umat menjadi baik dan berkembang. Namun jika tidak, maka ilmu akan meninggalkan amal perbuatan, dan dia akan tetap tinggal tanpa memberikan faedah apa pun. Jika demikian nilai apa yang dimiliki seorang manusia yang mempunyai segudang teori dan pengetahuan namun tidak mempraktikkannya dalam dunia nyata.

Pertalian ilmu dengan amal tidak hanya dituntut dari para pelajar agama dan para ahli yang mendalami suatu ilmu, melainkan juga dituntut dari setiap orang, baik yang memiliki ilmu sedikit ataupun banyak. Namun, tentunya orang-orang yang berilmu memiliki tanggung jawab yang lebih besar dalam hal ini, kerana mereka memiliki kemampuan yang lebih.

Allah SWT berfirman di dalam surat Ash-Shaff, ayat (2-3) :

“Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. Sungguh besar murka Allah kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.”

Jika kita memperhatikan ayat-ayat al-Quran, niscaya kita akan menemukan bahwa al-Quran senantiasa menggandengkan ilmu dengan amal. Makna ilmu diungkapkan dalam bentuk kata iman pada banyak tempat, dengan pengertian bahawa iman adalah ilmu atau keyakinan.

Di antaranya ialah :

“ Demi Masa, sesungguhnya manusia berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan saling menasihati dalam kebenaran dan kebajikan.”

[ Surah. Al-‘Ashr: 1-3 ].

Dalam ayat  lain dikatakan :

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal soleh, bagi mereka adalah syurga Firdaus menjadi tempat tinggal.”

[ Surah Al-Kahf : 107 ].

Demikian juga dengan ayat:

“Orang-orang yang beriman  dan beramal saleh, bagi mereka kebahagian dan tempat kembali yang baik.”

[ Surah Ar-Ra’d : 29 ]

Ayat-ayat tersebut menjelaskan tentang betapa ilmu dan amal soleh memiliki kaitan yang erat yang tidak dapat dilepaskan satu sama lain. Kerana keduanya umpama dua keping mata wang, yang saling memberi erti. Inilah yang sejalan dengan ucapan Imam Ali a.s:

“Iman dan amal adalah dua saudara yang senantiasa beriringan dan dua sahabat yang tidak berpisah. Allah tidak akan menerima salah satu dari keduanya kecuali disertai sahabatnya.”

Dengan perspektif keterpaduan ilmu dan amal, maka akan memberikan perkembangan kearah perbaikan dalam kehidupan masyarakat. Masyarakat akan berlumba-lumba dalam memberikan amal yang soleh diantara satu sama lain.

Imam Ali as berkata : “Jangan sampai ilmumu menjadi kebodohan dan keyakinanmu menjadi keraguan. Jika engkau berilmu maka beramal lah, dan jika engkau yakin maka majulah.” Dengan ilmu yang benar, serta amal  soleh maka masyarakat bergerak dari kebodohan menuju kepintaran, dari ketertinggalan menuju kemajuan dan dari  kehancuran menuju kebangkitan.

Tanthawi dalam tafsir al-Jauhari menjelaskan: “Sesung­guhnya yang takut kepada Allah, adalah para ulama yang tahu terhadap apa-apa yang layak (patut) bagi dzat Allah dan sifat-sifat Nya berupa pensucian, ketaatan dan keikhlasan dalam beribadah. Adapun orang-orang yang bodoh terhadap dzat Allah dan sifat-sifat Nya mereka tidak takut kepada Nya dan tidak takut terhadap siksaan Nya kerana mereka telah dikuasai syaitan”.

Sedangkan Zaid bin Jubair menyebut “rasa takut adalah sesuatu yang menjadi penghalang kamu dari mendurhakai Allah”.

Rasa takut (khasyyah) itu akan muncul jika seorang alim itu memiliki iman yang kuat. Kerana itu, dalam surah al-Mujadilah (58) : 11 ditegaskan bahwa Allah mengangkat derajat orang yang beriman dan berilmu.

Jadi syarat seorang alim yang diangkat derajatnya harus beriman. Di sisi lain, hubungan antara ilmu dan iman saling berkaitan. Semakin tinggi ilmu seseorang semakin mantap imannya. Sebaliknya, semakin kuat iman seseorang semakin gemar mengkaji ilmu pengetahuan.

Seorang ilmuwan (Alim) dalam pengertian di atas, mesti memanfaatkan ilmunya untuk kebaikan diri dan lingkungannya. Orang berilmu tidak boleh merosak alam dengan perilaku-perilaku yang rakus dan serakah mengeksploitasi alam. Seorang alim juga tidak boleh melakukan kemaksiatan atau memfasilitasinya kerana tindakan itu bertolak belakang dengan sikap “takut” pada-Nya sehingga mengundang azab/kutukan Tuhan.

Allahua'lam ...

Kamis, 03 Oktober 2013

SAHABAT

Mengenal kalian adalah suatu hal yang membahagiakan,, sungguh2 teramat membahagiakan..
Awal masuk kuliah,, dikampuz tercinta aku hanya tau dengan belajar dan mendapat nilai yang besar.
Walaupun dari sewaktu SMA aku sudah mengenal namanya "Tarbiyah" ,, tapi itu dulu hanya kuanggap sebagai rutinitasku tiap pekan..pengisi waktu kosongku..

Berjalan beberapa tahun dari proses tarbiyahku,, belum merubah apa2.. Hanya saja jilbab itu tetap melekat sampai saat ini dan juga sholat wajib yang tidak bolong2 lagi. Alhamdulillah...

Murobbiyahku Mb' I bilang sewaktu Liqo' : "Oktri hari ini pertemuan terakhir kita di Halaqoh ini ya,, Oktri Mb' transfer dikampus saja biar bisa aktif dikegiatan kampus. Nanti Oktri hubungi no.ini 0857xxxxxxxx an. Mb' TI." Awalnya aku ragu untuk melanjutkan tarbiyahku,, tapi karena penasaran siapa sih Mb' yg mau menggantikan Mb'ku,, akhirnya ku sms beliau (Mb'TI). Sebelumnya tidak ada respon dari beliau,, kembali aku bertanya pada Mb' I bahwa Mb'TI jg masih kuliah.. Cari2 info ternyata beliau waktu itu juga mengikuti kulyh di smtr 3. Bertanya aku dengan seorang akhwat  (Se) yg pakaiannya waktu itu lebih rapi dari aku (karena aku dulu suka pakai celana kulot). Ini yg namanya Mb' TI.. Nanti anti ikut kami saja kekost'an ane (Se). Aku menolak dan aku katakan bahwa aku ingin bicara sama Mb' TI di masjid Nurul Iman saja. Akhirnya aku bisa bicara sama Mb'TI. Ba'da dari pembicaraan singkat itu aku diajak Mb'TI kekost'n Se dan baru tau aku bahwa disana beliau mau ngisi dan akhirnya aku dikenalkan pada personil2nya "Se, Mb'P, Mb'E, Mb'M, Ri, Ay. Mulai dech ta'aruf singkatnya..

Selama dengan Mb'TI kebanyakan yang dibahas itu masalah pergerakan (Dakwah Kampus) dan juga rata2 personilnya ikut Organisasi.. Dan akhirnya karena didesak Mb'TI dan juga atas dorongan teman2 aku mau gabung tapi dengan syarat ikut DIK I terlebih dahulu..

DIK I tahun 2010,, iy aku tergabung di LDK tahun 2010. Dan pada saat itu yang ikut ke RU hanya Se,, Se juga yang meminjamkan aku pakaian karena waktu itu aku tidak tau kalau tidak boleh pakai baju kaos pada saat materi.. Dan dari situ aku mulai merasa betah dengan yang namanya LDK.. Ada Se yang selalu pengertian.