Firman Allah Subhanahu wata’ala :
ولئن أذقناهم رحمة منا بعد ضراء مسته ليقولن هذا لي
“Dan
jika kami melimpahkan kepadanya sesuatu rahmat dari kami, sesudah dia
ditimpa kesusahan, pastilah dia berkata “ini adalah hak-Ku”. (QS.
Fushshilat, 50).
Dalam menafsirkan ayat ini Mujahid mengatakan : “ini adalah karena jerih payahku, dan akulah yang berhak memilikinya”.
Sedangkan Ibnu Abbas mengatakan : “ini adalah dari diriku sendiri”.
Firman Allah Subhanahu wata’ala :
قال إنما أوتيته على علم عندي
“(Qarun) berkata : sesungguhnya aku diberi harta kekayaan ini, tiada lain karena ilmu yang ada padaku” (QS. Al Qashash, 78).
Qotadah dalam menafsirkan ayat ini mengatakan: “Maksudnya : karena ilmu pengetahuanku tentang cara-cara berusaha”.
Ahli tafsir lainnya mengatakan : “Karena Allah mengetahui bahwa
aku orang yang layak menerima harta kekayaan itu”, dan inilah makna yang
dimaksudkan oleh Mujahid : “aku diberi harta kekayaan ini atas
kemulianku”.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhu bahwa ia mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda :
“Sesungguhnya ada tiga orang
dari bani Israil, yaitu : penderita penyakit kusta, orang berkepala
botak, dan orang buta. Kemudian Allah Subhanahu wata’ala ingin menguji
mereka bertiga, maka diutuslah kepada mereka seorang malaikat.
Maka datanglah malaikat itu kepada orang pertama yang menderita
penyakit kusta dan bertanya kepadanya : “Apakah sesuatu yang paling kamu
inginkan ?”, ia menjawab : “Rupa yang bagus, kulit yang indah, dan
penyakit yang menjijikkan banyak orang ini hilang dari diriku”. Maka
diusaplah orang tersebut, dan hilanglah penyakit itu, serta diberilah ia
rupa yang bagus, kulit yang indah, kemudian malaikat itu bertanya lagi
kepadanya : “Lalu kekayaan apa yang paling kamu senangi ?”, ia menjawab :
“onta atau sapi”, maka diberilah ia seekor onta yang sedang bunting,
dan iapun didoakan : “Semoga Allah memberikan berkahNya kepadamu dengan
onta ini.”
Kemudian Malaikat tadi mendatangi orang kepalanya
botak, dan bertanya kepadanya :“Apakah sesuatu yang paling kamu
inginkan ?”, ia menjawab :“Rambut yang indah, dan apa yang menjijikan
dikepalaku ini hilang”, maka diusaplah kepalanya, dan seketika itu
hilanglah penyakitnya, serta diberilah ia rambut yang indah, kemudian
malaikat tadi bertanya lagi kepadanya : “Harta apakah yang kamu senangi
?”. ia menjawab : “sapi atau onta”, maka diberilah ia seekor sapi yang
sedang bunting, seraya didoakan : “Semoga Allah memberkahimu dengan sapi
ini.”
Kemudian malaikat tadi mendatangi orang yang buta,
dan bertanya kepadanya : “Apakah sesuatu yang paling kamu inginkan?”, ia
menjawab : "Semoga Allah berkenan mengembalikan penglihatanku sehingga
aku dapat melihat orang”, maka diusaplah wajahnya, dan seketika itu
dikembalikan oleh Allah penglihatannya, kemudian malaikat itu bertanya
lagi kepadanya : “Harta apakah yang paling kamu senangi ?”, ia menjawab :
“kambing”, maka diberilah ia seekor kambing yang sedang bunting.
Lalu berkembangbiaklah onta, sapi dan kambing tersebut, sehingga
yang pertama memiliki satu lembah onta, yang kedua memiliki satu lembah
sapi, dan yang ketiga memiliki satu lembah kambing.
Sabda Nabi Shallallahu’alaihi wasallam berikutnya :
Kemudian
datanglah malaikat itu kepada orang yang sebelumnya menderita penyakit
kusta, dengan menyerupai dirinya disaat ia masih dalam keadaan
berpenyakit kusta, dan berkata kepadanya : “Aku seorang miskin, telah
terputus segala jalan bagiku (untuk mencari rizki) dalam perjalananku
ini, sehingga tidak akan dapat meneruskan perjalananku hari ini kecuali
dengan pertolongan Allah, kemudian dengan pertolongan anda. Demi Allah
yang telah memberi anda rupa yang tampan, kulit yang indah, dan kekayaan
yang banyak ini, aku minta kepada anda satu ekor onta saja untuk bekal
meneruskan perjalananku”, tetapi permintaan ini ditolak dan dijawab :
“Hak-hak (tanggunganku) masih banyak”, kemudian malaikat tadi berkata
kepadanya : “Sepertinya aku pernah mengenal anda, bukankah anda ini dulu
orang yang menderita penyakit lepra, yang mana orangpun sangat jijik
melihat anda, lagi pula anda orang yang miskin, kemudian Allah
memberikan kepada anda harta kekayaan ?”, dia malah menjawab : “Harta
kekayaan ini warisan dari nenek moyangku yang mulia lagi terhormat”,
maka malaikat tadi berkata kepadanya :“jika anda berkata dusta niscaya
Allah akan mengembalikan anda kepada keadaan anda semula”.
Kemudian malaikat tadi mendatangi orang yang sebelumnya berkepala botak,
dengan menyerupai dirinya disaat masih botak, dan berkata kepadanya
sebagaimana ia berkata kepada orang yang pernah menderita penyakita
lepra, serta ditolaknya pula permintaanya sebagaimana ia ditolak oleh
orang yang pertama. Maka malaikat itu berkata : “jika anda berkata
bohong niscaya Allah akan mengembalikan anda seperti keadaan semula”.
Kemudian malaikat tadi mendatangi orang yang sebelumnya buta,
dengan menyerupai keadaannya dulu disaat ia masih buta, dan berkata
kepadanya : “Aku adalah orang yang miskin, yang kehabisan bekal dalam
perjalanan, dan telah terputus segala jalan bagiku (untuk mencari rizki)
dalam perjalananku ini, sehingga kau tidak dapat lagi meneruskan
perjalananku hari ini, kecuali dengan pertolongan Allah kemudian
pertolongan anda. Demi Allah yang telah mengembalikan penglihatan anda,
aku minta seekor kambing saja untuk bekal melanjutkan perjalananku”.
Maka orang itu menjawab :“Sungguh aku dulunya buta, lalu Allah
mengembalikan penglihatanku. Maka ambillah apa yang anda sukai, dan
tinggalkan apa yang tidak anda sukai. Demi Allah, saya tidak akan
mempersulit anda dengan mengembalikan sesuatu yang telah anda ambil
karena Allah”. Maka malaikat tadi berkata : “Peganglah harta kekayaan
anda, karena sesungguhnya engkau ini hanya diuji oleh Allah, Allah telah
ridho kepada anda, dan murka kepada kedua teman anda” (HR. Bukhori dan
Muslim).
([1])
Ayat di atas menunjukkan kewajiban mensyukuri ni’mat Allah dan
mengakui bahwa ni’mat tersebut semata mata berasal dari Allah, dan
menunjukkan pula bahwa kata kata seseorang terhadap ni’mat Allah yang
dikaruniakan kepadanya : “Ini adalah hak yang patut kuterima, karena
usahaku” adalah dilarang dan tidak sesuai dengan kesempurnaan tauhid.